Pages

Sabtu, 20 Februari 2010

"Pernak-Pernik" Gempa Jogja

Cerita soal gempa Jogja mungkin sudah jadi berita “basi”. Tapi okelah, ini kan blog, bukannya situs berita. Jadi? Ya, berikut ini ada serangkaian analisis yang saya peroleh dari sebuah milis sains. Karena format aslinya masih dalam bentuk yang lumayan teknis, jadi di blog ini saya sajikan versi “light”-nya saja dengan beberapa detil teknis saya hilangkan demi kenyamanan membacanya.

Soal episentrum dan magnitudo gempa, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mencatat gempa Yogya memiliki magnitude 5,9 Skala Richter dengan posisi episentrum 37 km di selatan Yogya, tepat didasar Samudera Hindia pada koordinat 8,26° LS 110,31° BT, dengan kedalaman sumber gempa 33 km dari permukaan laut. Data dari United States Geological Survey (USGS) sedikit lebih lengkap, dimana gempa ini memiliki body-wave magnitude (Mb) 6,0 skala Richter, surface magnitude (Ms) 6,3 skala Richter dan moment magnitude (Mw) 6,3 skala Magnitudo. Namun posisi episentrumnya berbeda jauh dengan data BMG, sebab terletak 20 km selatan Yogya, atau persis di bawah Parangtritis – Samas, tepatnya pada koordinat 8,007° LS 110,286° dengan kedalaman 35 km. Data lainnya diperoleh dari EMSC (Eropa) — menyatakan pusat gempa justru ada di sebelah timur Yogya, tepatnya di bawah kawasan Piyungan – Patuk pada koordinat 7,851° LS 110,463° BT sejauh 12 km dari Yogya. Namun ketiga lembaga itu sama2 menyatakan bahwa gempa tektonik ini berasal dari pure strike-slip alias pergeseran mendatar, bukan gerak naik/turun sebagaimana yang biasa terjadi pada zona subduksi.

Lepas dari pihak mana yang paling akurat, posisi2 episentrum ini cukup menarik. Episentrum-nya USGS berada tepat di sebuah patahan yang berarah timur laut – barat daya dan membentang mulai dari kawasan utara Candi Prambanan hingga ke muara Sungai Opak. Episentrum-nya EMSC berada persis di bawah bukit2 kapur Pegunungan Sewu yang menjadi bagian horst patahan ini. Sementara episentrum-nya BMG, ternyata juga terletak di sekitar garis imajiner perpanjangan patahan ini ke selatan, menerus ke Samudera Hindia.

Apa yang bisa diartikan dari sini? (Hampir pasti) bisa dikatakan gempa kuat di Yogya berkaitan dengan aktivitas patahan Sungai Opak ini. Mungkin hal ini juga yang bisa menjelaskan mengapa daerah dengan kerusakan terparah (dan korban jiwa terbesar) ada di sumbu imajiner Bantul – Klaten, karena memang patahan ini membentang dari Bantul selatan hingga Klaten selatan (kawasan Prambanan).

Tentang patahan ini, bila anda pernah berwisata ke Parangtritis, sebelum memasuki gerbang kawasan wisata itu anda akan melintasi jembatan gantung yang membentang di atas sebuah sungai. Itulah Sungai Opak. Selain melintasi sungai, persis di jembatan ini anda sebenarnya juga sedang melintasi patahan Sungai Opak, yang terpendam di bawah endapan vulkanik Gunung Merapi. Panorama di sebelah selatan jembatan tadi berbeda dibanding sebelah utara yang relatif datar. Selain bukit2 kapur, di sini juga terdapat mata air panas (hot springs) Parangwedang, yang tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik ataupun post-vulkanik, namun disebabkan oleh patahan. Rupanya ruang di bawah horst diisi oleh magma, namun bidang patahannya masih cukup kuat untuk menahan tekanan magma – beda dengan patahan sejenis di utara, yang tak sanggup menahan tekanan magma hingga magma bisa muncul ke permukaan Bumi lewat bidang patahan dan terbentuklah jajaran gunung-gunung api Merapi, Merbabu dan Ungaran. Meski begitu magma di bawah horst tadi sudah cukup mampu untuk memanaskan air bawah tanah, yang kemudian keluar melewati bidang patahan sebagai air panas.

Patahan ini pernah diteliti di akhir 1980-an dan disimpulkan bahwa ia telah mati. Sehingga tidak pernah diperhitungkan sebagai salah satu potensi bahaya bagi Yogyakarta dan sekitarnya. Fokus potensi bahaya di Yogya kemudian lebih ditekankan pada ancaman letusan Merapi serta gerakan tanah. Gempa tektonik — kalaupun ada — dianggap diletupkan oleh zona subduksi yang berada 300 km di selatan Yogya.

Kini patahan itu (nampaknya) hidup kembali. Dan di sana, di bawah lembah Sungai Opak, gempa2 susulan terus berkejaran. Sekilas pergeseran patahan ini memang tidak besar. Bila gempa megathrust 26 Desember 2004 menimbulkan pergeseran (rata-rata) 15 m dan (maksimal) 20 m, di gempa Yogya ‘hanya’ 5 – 10 cm. Namun bila kita bandingkan pergeseran ini dengan pergerakan patahan2 sejenis, yang banyak eksis di Jawa Barat seperti patahan Lembang – Cimandiri – Baribis, dimana kecepatannya (rata-rata) 0,2 mm /tahun, maka nampak pergeserannya cukup besar.

Kita tidak tahu apa yang menyebabkan patahan ini hidup kembali. Bisa jadi ini merupakan bagian dari rentetan yang dipicu gempa berbuntut tsunami di Aceh. Atau mungkin juga akibat aktivitas Merapi yang memang sedang memuncak setelah istirahat berkepanjangan selama 5 tahun belakangan (hal yang memang tidak biasa). Kita juga tidak tahu pengaruh getaran gempanya bagi dapur2 magma jajaran gunung2 api Merapi, Merbabu dan Lawu. Yang kita harapkan, semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk lagi.

Kita bisa belajar dari pengalaman rakyat Philipina, dimana sebuah gempa besar pada pertengahan Juli 1990 — yang menghancurleburkan kawasan Baguio — dengan pusat berjarak 100 km dari Gunung Pinatubo ternyata sanggup membangunkan gunung api tersebut yang telah 600 tahun terlelap (dan tererosi berat) dengan munculnya erupsi freatik pada awal April 1991 yang terus berkembang hingga puncaknya menghasilkan letusan dahsyat ultraplinian pada pertengahan Juni 1991 dengan semburan abu mencapai ketinggian 34 km!

Itu tadi berkaitan dengan episentrum gempa. Sekarang kita bicara soal pernak-pernik lain yang berkaitan dengan gempa Jogja.

Berdasarkan hitung-hitungan matematis (yang tentu saja tidak perlu saya copy-paste disini), besar energi yang dilepaskan oleh gempa Jogja berkisar antara 4,467 . 10^13 Joule – 1,778 . 10^14 Joule atau setara dengan 11 — 43 kiloton TNT. Bila dihitung berdasarkan persamaan yang lebih kompleks, kita akan mendapati besarnya energi (E) = 1,409 . 10^14 Joule atau 34 kiloton TNT dengan momen seismik (Mo) = 2,818 . 10^25 dyne-cm. USGS malah mencatat momen seismik lebih besar (4,2 . 10^25 dyne-cm, atau hampir dua kali lipat). Sebagai pembanding, letusan bom Little Boy di atas Hiroshima pada akhir Perang Dunia II melepaskan energi sebesar 19 – 20 kiloton TNT. Artinya, energi gempa ini memang cukup besar.

Intensitas gempa di hiposentrum diperhitungkan sebesar 8 – 9 MMI. Data yang dihimpun BMG menunjukkan intensitas gempa di kota Yogya mencapai 5 – 6 MMI. Sementara di Semarang mencapai 3 MMI atau setara dengan getaran yang diakibatkan lewatnya truk besar. Dengan persamaan yang menunjukkan hubungan antara intensitas gempa berbanding jarak dari hiposentrum, maka bisa dihitung bahwa intensitas gempa di Bantul mencapai 6 MMI, di Malang 1 MMI dan Jakarta nol. Kita juga bisa menghitung hubungan antara intensitas setempat dengan percepatan tanah maksimal dalam satuan cm/detik^2. Dari sini kita kita memperoleh angka-angka percepatan di Bantul mencapai 12 % G, di Yogya 6 % G, di Semarang 1 % G dan di Malang 0,24 % G.

Data berbeda diajukan USGS. Lewat laporan 40 responden USGS Community Internet Intensity Map yang berada di 18 kota berbeda di Pulau Jawa, didapatkan intensitas gempa di kota Yogya mencapai 8 MMI, Solo 5 MMI, Semarang 5 MMI, Purworejo – Kebumen 7 MMI, Malang 4 – 5 MMI, Surabaya dan Jakarta masing2 2 – 3 MMI. Untuk data ini, didapatkan koefisien atenuasi (k) = -0,00328. Sehingga setelah dihitung, intensitas di Bantul mencapai 8 MMI dengan percepatan 38 % G, Yogya 8 MMI dengan percepatan 35 % G, Magelang – Klaten 7 MMI dengan percepatan 17 dan 31 % G, Malang 4 MMI dengan percepatan 1,9 % G dan Jakarta 2 MMI dengan percepatan 0,5 % G.

Pada intensitas 8 MMI, dengan percepatan > 34 % G, terjadi potensi kerusakan yang menengah hingga parah. Intensitas 7 MMI memiliki percepatan 18 – 34 % G mengasilkan potensi kerusakan menengah. Intensitas 6 MMI dengan percepatan 9,2 – 18 % G menghasilkan potensi kerusakan yang ringan. Potensi kerusakan paling ringan dimiliki intensitas 5 MMI dengan percepatan < 9,2 % G.

Terakhir, adalah potensi munculnya tsunami akibat gempa. Isu tsunami sebenarnya bisa dimentahkan bila kita mengetahui bahwa kota Yogya dan sekitarnya berada pada ketinggian 114 m dari permukaan laut dan puluhan km dari garis pantai, sehingga hampir tidak mungkin air laut bisa mencapai kota ini, kecuali jika tsunami itu memiliki ketinggian > 500 meter, alias megatsunami, sejenis tsunami yang hanya bisa muncul akibat tumbukan komet / asteroid raksasa ke lautan..

Iida (1958) menyebutkan tsunami (yang signifikan / merusak) hanya akan terjadi bila magnitude gempa mencapai M = 6,42 + 0,01 H dengan H adalah kedalaman hiposentrum (dalam km). Selain itu dalam pergeseran patahan harus terdapat komponen pergerakan vertikal (dip-slip) selain komponen pergerakan lateral (strike-slip). Dalam kasus gempa Yogya, dengan patahan sepanjang 100 km, lebar 20 km, pergeseran rata-rata 5 – 7,5 cm, komponen dip-slip nya diperhitungkan sebesar 1,4 – 2,2 cm. Dengan demikian energi tsunami nya mencapai 6,136 .10^8 Joule hingga 1,515 . 10^9 Joule atau 150 –œ 360 kilogram TNT saja, alias lebih kecil dibanding energi yang tersimpan dalam sebuah bom konvensional yang selalu ditenteng ke mana2 oleh skuadron pesawat tempur. Untuk bisa menghasilkan tsunami yang merusak, dengan hiposentrum gempa sedalam 33 km itu, maka magnitude gempanya harus > 6,7 skala Richter.

Dengan energi sekecil itu, bila kita mengikuti model pembangkitan tsunami seperti yang dipaparkan Samuel Glasstone dan Philip Dolan (1972) – dari hasil eksperimen detonasi senjata nuklir bawah permukaan laut – kita mendapatkan bahwa pada jarak 10 km dari episentrum, pada tempat yang berupa laut dalam (kedalamannya > 1.000 meter), maka tinggi tsunami produk gempa Yogya kemarin itu hanya 0,2 – 0,4 cm. Jika pada jarak 10 km itu ternyata tidak lagi berupa laut dalam, namun garis pantai, dengan faktor penguatan gelombang (run up) 40 kali lipat (ini sudah nilai maksimal) oleh pendangkalan dasar laut dan berdesakannya massa air laut sebelum mencapai bibir pantai, maka tinggi tsunami di bibir pantai mencapai 8 – 16 cm saja. Dengan persamaannya Bretschneider dan Wybro, tsunami setinggi ini hanya akan menggenangi daratan hingga sejauh 2,6 – 5,6 meter dari bibir pantai. Sehingga potensi bahayanya adalah nol.

sumber : google.com  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar